Fadhillah Pandu Pradana, S.S.
Penelaah Teknis Kebijakan di Balai Bahasa Provinsi Maluku
Indonesia menjadi negara dengan jumlah bahasa terbanyak kedua di dunia setelah Papua Nugini dengan jumlah 718 bahasa. Namun, dengan kuantitas sebanyak itu, apakah bahasa daerah mampu untuk terus bertahan hidup di tengah penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa dominan dan makin kecilnya frekuensi penggunaan bahasa daerah yang ditemui di tengah-tengah masyarakat? Secara kuantitas, terdapat bahasa-bahasa daerah yang masih bertahan yang ditunjukkan dengan jumlah penuturnya yang relatif besar. Selain itu, ada pula bahasa-bahasa daerah yang menjadi bahasa minoritas karena jumlah penutur bahasa daerah itu relatif kecil. Akan tetapi, Coulmas (1997) dalam bukunya yang berjudul The Handbook of Sociolinguistics menerangkan bahwa meskipun secara kuantitas jumlah penutur bahasa itu kecil, bukan berarti hal tersebut menjadi tolok ukur suatu bahasa dikatakan minoritas dan terancam punah. Di sisi lain, ada pula bahasa yang jumlah penuturnya sedikit, tetapi loyalitas penutur terhadap bahasanya cukup kuat sehingga terhindar dari ancaman kepunahan.

Kondisi masyarakat Indonesia yang multietnis dan diikuti oleh kontak antaretnis, termasuk kontak bahasa, berpotensi menyebabkan terjadinya fenomena kebahasaan. Salah satunya adalah pergeseran bahasa (language shifting). Menurut Chaer dan Agustina (2004) dalam bukunya berjudul Sosiolinguistik: Perkenalan Awal, pergeseran bahasa merupakan penggunaan bahasa oleh seorang atau kelompok tutur yang bisa terjadi akibat perpindahan dari satu masyarakat tutur ke masyarakat tutur lain. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa pergeseran bahasa itu terjadi karena masyarakat tutur memilih suatu bahasa baru untuk mengganti bahasa mereka sebelumnya. Fasold (1984) dalam bukunya yang berjudul The Sociolinguistics of Society menyatakan bahwa pergeseran bahasa merupakan salah satu hasil dari proses panjang atas pemilihan bahasa oleh masyarakat. Pada umumnya, masyarakat memilih bahasa yang dianggap lebih berprestise atau memiliki status sosial lebih tinggi jika dibandingkan dengan bahasa lain, baik secara ekonomi maupun pendidikan. Selain perpindahan masyarakat tutur, menurut Sumarsono dan Partana (2002) dalam bukunya yang berjudul Sosiolinguistik, pergeseran bahasa juga dapat terjadi karena faktor ekonomi (industrialisasi), pendidikan, sosial, perubahan demografi, dan pewarisan bahasa oleh penuturnya.
Selain faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, pergeseran bahasa dapat terjadi karena penyempitan penggunaan bahasa daerah di berbagai ranah yang dilakukan secara kolektif dan terus-menerus oleh penuturnya. Salah satu penyempitan ranah penggunaan bahasa daerah yang sering kita jumpai di Maluku adalah makin sedikitnya frekuensi penggunaan bahasa daerah di ranah sosial tinggi (pendidikan) yang beralih ke ranah sosial yang lebih rendah (keluarga dan kerabat). Salah satu penyebabnya adalah masih beredarnya stigma di kalangan masyarakat bahwa penggunaan bahasa daerah di lingkungan sekolah dapat membuat kemampuan akademik siswa tertinggal atau menurun sehingga bahasa daerah dibatasi penggunaannya di dalam ranah keluarga saja. Padahal, penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar di sekolah sangat penting dilakukan karena dapat meningkatkan kemampuan literasi dan mengurangi kesenjangan belajar siswa.
Penyempitan ranah penggunaan bahasa daerah juga terjadi di ranah pekerjaan. Banyak perusahaan-perusahaan yang mewajibkan karyawannya untuk menggunakan bahasa yang lebih dominan seperti bahasa Indonesia jika dibandingkan dengan menggunakan bahasa daerah yang notabene merupakan bahasa yang tidak dominan. Penggunaan bahasa dominan di ranah pekerjaan ini menyebabkan ruang atau porsi penggunaan bahasa daerah makin kecil. Jika penyempitan penggunaan bahasa daerah di berbagai ranah ini terus berlangsung dan dilakukan secara kolektif, tidak menutup kemungkinan bahasa daerah tersebut akhirnya ditinggalkan secara perlahan oleh penuturnya dan akan berangsur punah.
Fenomena pergeseran bahasa ini tidak lepas dari penutur bahasa-bahasa daerah minoritas yang notabene dituturkan oleh kelompok tutur kecil di wilayah Maluku. Menurut Laruelle et al. (2019) dalam bukunya yang berjudul Sociological Methods and Research, bahasa minoritas adalah suatu bahasa yang digunakan masyarakat dalam wilayah tertentu dengan jumlah yang lebih sedikit dari populasi keseluruhan wilayah tersebut. Di Provinsi Maluku, pergeseran bahasa daerah dominan terhadap bahasa daerah yang tidak dominan ditemukan pada kelompok tutur bahasa Buru di wilayah Kabupaten Buru, Maluku. Hal ini dapat dibuktikan dengan hasil penelitian dari Mukhamdanah (2018) berjudul ”Wae Grahe dan Wamlana: Dua Dialek Bahasa Buru dengan Daya Hidup yang Berbeda” yang menunjukkan bahwa intensitas mobilitas penduduk di dua wilayah yang berbeda membawa pengaruh pada kontak bahasa di wilayah masing-masing. Penutur bahasa Buru di wilayah Wae Grahe memiliki kondisi geografis pegunungan dan ditambah dengan sulitnya akses transportasi yang menyebabkan intensitas mobilitas penduduknya rendah sehingga kontak bahasa yang terjadi di wilayah tersebut kecil. Hal ini menyebabkan daya hidup bahasa Buru tidak mudah terancam karena lingkungan yang homogen dan tidak ditemukan pergeseran bahasa di wilayah tersebut. Berbeda dengan penutur bahasa Buru di wilayah Wamlana yang menjadi pusat pemerintahan dan kegiatan ekonomi. Tingginya frekuensi mobilitas yang dilakukan oleh penduduk di wilayah ini menyebabkan kelompok tutur mendapatkan banyak kontak bahasa dari luar daerah. Banyaknya kontak bahasa yang berbeda di wilayah ini menyebabkan kelompok tutur bahasa Buru di Wamlana memilih untuk menggunakan bahasa Melayu Ambon dan bahasa Indonesia yang lebih dominan jika dibandingkan dengan bahasa Buru yang tidak dominan sebagai bahasa sehari-hari.
Selain itu, fenomena pergeseran bahasa juga terjadi wilayah lain di Maluku. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yohanis Yakubun (2018) dalam artikel ilmiahnya yang berjudul “Pergeseran dan Pemertahanan Bahasa Alune Desa Murnaten Kecamatan Taniwel Kabupaten Seram Bagian Barat” menunjukkan terjadinya pergeseran bahasa Alune ke bahasa Melayu Ambon dan bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yakni migrasi yang dilakukan oleh penduduk tanpa mempertahankan bahasa Alune, kemultibahasaan penduduk (penduduk dapat menuturkan bahasa Alune, bahasa Melayu Ambon, dan bahasa Indonesia), dan tidak adanya transmisi atau pewarisan bahasa Alune antargenerasi.
Beberapa contoh hasil penelitian di atas merupakan fenomena pergeseran bahasa yang terjadi di Provinsi Maluku. Meskipun belum bisa merepresentasikan secara keseluruhan apakah ada fenomena pergeseran bahasa-bahasa minoritas di Maluku, kita perlu memberikan perhatian lebih terhadap fenomena pergeseran bahasa ini. Lalu, bagaimana caranya agar fenomena pergeseran bahasa ini dapat diminimalisasi? Telah disebutkan di atas bahwa fenomena pergeseran bahasa disebabkan oleh masyarakat atau kelompok tutur yang bersifat kolektif. Individu-individu yang terdapat dalam suatu masyarakat atau kelompok tutur harus menerapkan sikap bahasa yang positif agar dapat mempertahankan bahasa ibu mereka. Dalam ilmu bahasa, istilah ini disebut dengan pemertahanan bahasa. Upaya pemertahanan bahasa dapat dilakukan dengan meningkatkan frekuensi penggunaan bahasa daerah di berbagai lini kehidupan, seperti penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar dalam pembelajaran di sekolah, memasukkan bahasa daerah sebagai kurikulum mata pelajaran di sekolah, pemakaian bahasa daerah dalam prosesi ritual adat, dan transmisi atau pewarisan bahasa antargenerasi. Pewarisan bahasa daerah dari generasi tua ke generasi muda di ranah keluarga ini sangat penting untuk dilakukan karena pergeseran bahasa merupakan salah satu hasil dari proses panjang dalam pemilihan bahasa/language choice yang akan digunakan oleh generasi muda. Upaya pemertahanan bahasa tersebut diharapkan dapat dilakukan oleh kelompok tutur bahasa-bahasa minoritas di Maluku agar bahasa daerah terus hidup berdampingan dengan bahasa-bahasa lain dan terhindar dari ancaman kepunahan.