Dudung Abdulah, S.S.Pengkaji di Kantor Bahasa Provinsi Maluku

Sastra anak sengaja dibuat (baik oleh anak maupun orang dewasa) berdasar pada sudut pandang anak yang dikonsumsi oleh anak, secara khusus cocok untuk anak, dan menghibur serta memberikan kepuasan terhadap anak setelah mendengar atau membacanya (Nurgiyantoro, 2019 dalam buku Sastra Anak: Pengantar Pemahaman Dunia Anak). Tidak kalah penting dari itu, sebagaimana peran sastra sebagai sarana pendidikan, maka sastra anak harus mengandung pesan moral yang bisa dijiwai oleh anak sehingga anak mampu menerapkan nilai positif dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, sastra anak dapat dikatakan berhasil mendidik dan mendewasakan anak.
Istilah anak sering dijumpai dalam sapaan sehari-hari, seperti anak kecil, anak sekolah, anak remaja, anak kuliahan, dan masih banyak lagi yang sejenisnya. Namun, bukan sebutan anak seperti penulis sebutkan di atas, yang dimaksudkan ialah generasi manusia yang masih kecil atau anak-anak yang belum dewasa. Oleh karena itu, perlu ditekankan bahwa anak yang dikenal dalam sastra anak adalah manusia yang berusia 0—13 tahun atau Burhan Nurgiyantoro mengistilahkannya sampai dengan masa remaja awal.
Anak merupakan generasi yang tidak bisa lepas dari informasi yang ada di sekitarnya. Rasa ingin tahu anak bisa jadi lebih tinggi dari orang dewasa. Oleh sebab itu, kerap kali ditemukan anak berlarian ke sana kemari hanya demi melihat hal baru yang ada di sekelilingnya. Ada juga anak yang aktif bertanya ini dan itu kepada orang dewasa yang ada di dekatnya tentang apa yang baru saja ia lihat. Keadaan tersebut memang menunjukkan bahwa anak merupakan lembaran kertas kosong yang haus akan goresan informasi.
Ibarat kertas kosong, anak merupakan manusia yang masih polos sehingga sangat mudah menyerap berbagai informasi dari apa yang didengar dan dilihatnya. Dengan demikian, bacaan, tontonan, dan ucapan yang dituturkan orang dewasa haruslah mengandung informasi yang baik bagi anak. Tentunya informasi yang bisa mendukung terhadap perkembangan kedirian anak. Informasi tersebut bisa didapatkan oleh anak melalui perantara sastra anak.
Sastra anak bisa berupa lagu (nyanyian), animasi (tontonan), dan buku (tulisan/gambar). Sastra anak sebaiknya diberikan kepada anak sesuai dengan jenjang usianya. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan ada anak yang kemampuannya di bawah atau di atas usianya. Itu artinya, selain disesuaikan dengan usia, sastra anak yang diberikan harus sesuai dengan kemampuan anak dalam meresponsnya.
Sastra anak yang baik bisa mendorong perkembangan kedirian anak menjadi lebih matang dan sempurna. Sastra anak yang baik mampu menanamkan nilai personal dan nilai pendidikan pada diri anak (Nurgiyantoro, 2019 dalam buku Sastra Anak: Pengantar Pemahaman Dunia Anak). Nilai personal yang didapatkan dari sastra anak, antara lain: 1) Perkembangan emosional yang dapat dilihat dari kemampuan anak mengengendalikan perasaan pada saat menikmati sastra, 2) Perkembangan intelektual yang dibentuk oleh logika alur dalam sastra, 3) Perkembangan imajinasi yang didapat dari petualangan fiktif menembus batas ruang dan waktu, 4) Pertumbuhan rasa sosial yang diperoleh melalui hubungan antartokoh atau pesan sosial dalam sastra, 5) Pertumbuhan rasa etis yang diperoleh melalui perilaku tokoh atau pesan etis dalam sastra, dan 6) Pertumbuhan rasa religius yang diperoleh melalui perilaku tokoh atau pesan religius dalam sastra.
Enam nilai pendidikan yang didapatkan dari sastra anak, yaitu pertama, eksplorasi. Konflik yang disajikan oleh sastra, dengan sendirinya bisa melatih anak dalam melakukan pencarian solusi untuk pemecahan konflik. Kedua, penemuan. Solusi yang ditawarkan dalam pemecahan konflik merupakan temuan baru yang prinsipnya bisa diterapkan dalam kehidupan anak. Ketiga, perkembangan bahasa. Semakin sering bersentuhan dengan sastra, semakin banyak perbendaharaan kata yang diserap oleh anak sehingga akuisisi bahasa anak berkembang lebih cepat. Keempat, nilai estetis. Unsur seni dalam bahasa sastra mengenalkan aspek keindahan yang bisa berdampak positif terhadap perkembangan kedirian anak. Kelima, wawasan multikultural. Sastra yang disajikan ke publik biasanya tidak lepas dari kultur daerah asal pengarangnya sehingga para penikmat sastra bisa mengenal kultur dari berbagai pelosok nusantara bahkan dunia. Keenam, budaya membaca. Alasan mengapa sastra anak dikemas semenarik mungkin adalah supaya anak-anak mau kembali ke dunia buku (termasuk buku elektronik) seiring merebaknya teknologi yang tidak ramah anak.
Nilai personal dan nilai pendidikan yang diperoleh dari sastra anak akan menjadi bahan bakar dalam rangka mendewasakan anak. Proses pendewasaan itu akan membawa anak untuk menemukan jati dirinya. Jadi, perkembangan kedirian anak bisa dikatakan matang dan sempurna apabila sudah mampu menemukan jati dirinya sebagai anak. Keberhasilan anak dalam menemukan jati dirinya ditunjukkan dengan kesadaran akan perannya sebagai anak sehingga bisa membedakan bagaimana ia harus mengayomi orang lain yang lebih muda darinya, bagaimana ia harus bersikap dengan teman sebayanya, dan bagaimana ia harus menghormati orang yang lebih dewasa darinya. Penemuan jati diri anak secara sempurna (seharusnya) akan terjadi menjelang usia masa remaja awal. Dengan demikian, sastra anak dirasa cukup bisa memberikan sumbangsih nyata dalam rangka mematangkan kedirian anak.