Zahrotun Ulfah, S.S.
Pengkaji Bahasa dan Sastra di Kantor Bahasa Provinsi Maluku

Provinsi Maluku, yang terletak di wilayah timur Indonesia memiliki sejuta pesona yang tak akan habis untuk diulas. Provinsi yang dijuluki sebagai “Negeri Para Raja” ini dikenal kaya akan warisan budaya. Selain kepemilikan bahasa daerah yang beragam, provinsi ini dikenal memiliki tradisi di setiap wilayah. Di Kabupaten Maluku Tengah, tepatnya di dusun Rohua Desa Sepa terdapat satu etnik yang biasa disebut Nuaulu (Naulu). Etnik yang mendiami daerah tersebut merupakan pecahan penduduk asli pulau Seram Kabupaten Maluku Tengah. Pecahan itu merupakan bagian dari kerajaan Nunusaku, sebuah kerajaan di Pulau Seram (Nusa Ina). Mereka bermukim di beberapa wilayah pedalaman di pesisir selatan pulau Seram yakni Bunara, Ahisuru, Hauwalan, Simalou, dan Rouhua. Yonna Tanahitumesseng dalam penelitiannya menyebutkan bahwa Nuaulu artinya masyarakat yang tinggal di Hulu sungai Nua (2017).
Sebagian Etnik Nuaulu meyakini sang Pencipta yang mereka sebut Upu Kuanahatana. Roh-roh leluhur para pendahulu dianggap memengaruhi kehidupan manusia sehingga menjadi bagian dari sistem kepercayaan. Etnik Nuaulu di Rouhua sebagai bagian dari kebudayaan nusantara juga memiliki beberapa tradisi yang menarik dan cukup unik. Salah satu tradisi tersebut ialah tradisi Usi Rosa. Usi Rosa ialah prosesi adat untuk penebusan dosa bagi etnik Nuaulu yang masih menganut sistem kepercayaan. Upacara penebusan dosa dianggap sebagai upacara sakral dengan tujuan menghilangkan dosa-dosa yang pernah dilakukan. Dalam prosesi ini terdapat ibadah kahuae, tarian maku-maku, dan cakalele sebagai pengiring prosesi.
Upacara tebus dosa terdiri atas dua proses yakni persiapan dan pelaksanaan. Prosesi persiapan dilakukan untuk menyiapkan peranti tebus dosa diantaranya, pakaian adat, mahkota, dan hewan buruan (babi, rusa, dan kus-kus). Dalam pemenuhannya, laki-laki etnik Nuaulu harus berburu ke hutan. Rusa diambil kulitnya untuk dibuat tifa, dan daging binatang digunakan untuk makan dulang (makan bersama). Mereka juga mencari bulu-bulu burung kakak tua, nuri, dan kasuari untuk pembuatan mahkota. Selain itu, mereka juga mencari kayu untuk pembuatan salawaku (perisai perang yang terbuat kayu). Dalam prosesnya, kayu yang dipilih ialah kayu pohon Halaor (bahasa Nuaulu: kawasa).Untuk kelancaran prosesi tersebut juga diperlukan rangkaian ritual adat yang harus dilaksanakan.
Proses persiapan dilanjutkan dengan pembuatan pakaian adat yang terdiri:
- Karanunu (ikat kepala merah yang dipakai oleh seluruh laki-laki dewasa suku Nuaulu yang terbuat dari kain berang)
- Nonie (gelang yang dipakai di lengan atas dan terbuat dari kulit kayu. Di bagian luar dililit dengan batang bulu kasuari dan dianyam dengan rotan (sipoi).
- Kapakate ( sabuk yang dililit di pinggang yang terbuat dari kulit kayu.
- Ayunte (kain yang dililit menyerupai celana berfungsi sebagai pengganti pakaian laki-laki)
- Masinatanai (gelang kaki yang terbuat dari anyaman rotan)
- Weketisi aka ronae (ramuan minyak kelapa yang dimasak dan dicampur dengan berbagai jenis dedaunan.
Setelah piranti disiapkan, keesokan harinya laki-laki peserta tebus dosa menggunakan pakaian adat dari rumah masing-masing dan berjalan menuju ke rumah adat Matoke. Mereka memulai acara kahuaedengan mengelilingi lapangan adat (Pasawari Sone Kahuae Rereta) sebanyak lima kali, sesuai dengan filosofi Patalima. Selama prosesi berlangsung, selain peserta tebus dosa tidak diperkenankan memasuki lapangan sampai keesokan hari. Dalam prosesi ini dilantunkan doa sakral yang hanya dilakukan oleh ketua adat. Seluruh peserta juga diwajibkan berpuasa dan tidak diperbolehkan melakukan aktivitas menggunakan tangan kanan. Mereka beranggapan bahwa mulut dan tangan kanan adalah sumber perbuatan dosa. Masyarakat Nuaulu menyadari bahwa setiap perbuatan buruk akan mendapat pembalasan dari Tuhan.
Dalam rangkaian acara tebus dosa, siang harinya terdapat tarian Cakalele yang diikuti oleh seluruh peserta Usi Rosa, baik laki-laki dan perempuan. Tarian Cakalele diiringi musik tifa dan gendang serta nyanyian Saikahuai. Malam harinya dilaksanakan tarian Maku-Maku. Tarian Maku-Maku dimulai sepanjang malam dengan iringan musik dan nyanyian rakyat. Maku Maku merefleksikan sebagai prosesi kemenangan usai tradisi Usi Rosa. Suku Nuaulu mempercayai bahwa selepas Usi Rosa, masyarakat akan terlahir suci dan terbebas dari segala dosa. Dengan demikian, mereka dapat menjalani kehidupan dengan lebih tenteram dan sejahtera.
Etnik Nuaulu di dusun Rouhua masih memelihara dengan baik ritual penebusan dosa. Hal ini menggambarkan bahwa masyarakat Nuaulu masih memegang nilai religi yang diajarkan oleh leluhur. Kesakralan tradisi Usi Rosa sangat tinggi sehingga belum pernah terdokumentasikan sebelumnya. Hal ini dikhawatirkan bahwa generasi penerus tidak lagi mengetahui tradisi tersebut jika suatu saat tidak dilaksanakan. Oleh karena itu, seyogyanya seluruh pihak baik etnik Nuaulu maupun masyarakat luar dapat melestarikan dan mendokumentasikan kegiatan ini tanpa menghilangkan unsur kesakralannya.
Keunikan dan kekhasan dalam prosesi Maku Maku Usi Rosa dapat dikemas lebih menarik sehingga memantik minat masyarakat untuk mengenal lebih dekat budaya Nuaulu. Hal ini diharapkan turut membuka potensi pariwisata khususnya, di wilayah Maluku Tengah. Selain wisata alam, Maluku Tengah dapat menawarkan wisata budaya bagi wisatawan. Seperti halnya upacara kematian “rambu solo”di Toraja,meskipun bersifat sakral tetapi dapat dikenal hingga mancanegara. Pemilik budaya bersikap terbuka dan bersinergi dengan pemerintah untuk mempromosikan budaya tersebut. Alhasil, budaya tersebut dikenal oleh masyarakat luas dan mampu menjadi objek wisata budaya. Ritual ini pun mampu mendatangkan wisatawan, baik dari dalam maupun luar negeri. Jika hal ini terjadi di Nuaulu, tentu akan berdampak positif bagi kehidupan masyarakat sekitar Nuaulu. Budaya terjaga, peluang wisata dan ekonomi kreatif pun tercipta.