SASTRA LISAN SEBAGAI CERMIN PERADABAN

Herni Paembonan, S.S.

Pengkaji di Kantor Bahasa Provinsi Maluku

Artikel ini telah terbit di harian Kabar Timur

Sastra lisan sebagai cermin peradaban membutuhkan perhatian khusus dari berbagai kalangan. Salah satu dari beberapa sastra lisan yang dimiliki Indonesia yang cukup membanggakan ialah pantun. Suatu kehormatan luar biasa yang kita dapatkan di akhir tahun 2020, ketika pantun ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda oleh UNESCO di Paris, Prancis.

Pada dasarnya sastra bagi masyarakat adalah kenyataan sehari-hari, artinya sastra bukanlah sebuah fenomena asing yang terpisah dari kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Masyarakat mengaktualisasikan diri melalui sastra. Bersastra, baik secara aktif maupun pasif dapat memperluas cakrawala pandangan, menambah pengetahuan, dan mengembangkan wawasan sosial. Sastra dipandang sebagai sesuatu yang realistik dalam kehidupan kita yang diaktualisasikan pada dimensi-dimensi transenden.

Ilmu tentang sastra lisan merupakan bagian dari ilmu kebudayaan. Oleh karena itu, dalam aspek kebudayaan yang banyak memanfaatkan kata-kata atau istilah dalam hubugannya dengan bahasa adalah sastra. Media utama sastra lisan adalah bahasa karena bahasa mengikat keseluruhan aspek kehidupan. Sastra lisan ditampilkan dengan berbagai macam kreativitas. Kreativitas tersebut berupa eksperesi kebudayaan estetis, metaforis, dan simbolis yang dilisankan melalui media bahasa. Oleh karena itu, pelaku sastra lisan pada umumnya menghadirkan sastra dalam tuturan bahasa daerah berdasarkan wilayah dan varian yang berbeda-beda. Selain itu, mereka yang bersastra mengekspresikan peristiwa-peristiwa penting dalam hidupnya seperti kelahiran, kehidupan, kematian, kesakitan, ketakutan, kekhawatiran, kebahagiaan, dan sebagainya. Semua itu diungkapkan dengan bahasa yang berwibawa, gerak yang simbolis, dan kesadaran partisipasi dengan totalitas.

Indonesia sebagai Negara kepulauan yang lazim dikenal dengan sebutan Nusantara memiliki sastra lisan yang beragam sehingga pengetahuan tentang sastra lisan bukanlah hal yang baru. Namun, pada kenyataannya mereka yang memahami dan mampu melakukan sastra lisan secara utuh di daerahnya sebagian besar adalah tetua-tetua adat yang dipandang memiliki kedudukan tinggi. Sedangkan, generasi muda kurang mengapresiasi sastra lisan di daerahnya. Sastra lisan dianggap sudah ketinggalan zaman. Anak-anak yang tahu tentang sastra lisan di daerahnya sangat terbatas pada ‘sekadar tahu’. Ketika diminta untuk melakonkannya, mereka sudah tidak bisa. Hal itu juga dipengaruhi oleh kurangnya penguasaan terhadap bahasa daerah.  Pelajaran tentang sastra di sekolah-sekolah hanya disisipkan pada mata pelajaran bahasa Indonesia. Selain itu, pewarisan sastra lisan terhadap generasi muda sudah jarang dilakukan. Padahal, pelestarian sastra lisan dapat dilakukan melalui pelajaran muatan lokal di sekolah-sekolah.

Yoseph Yapi Taum dalam bukunya yang berjudul Studi Sastra Lisan (2011) menjelaskan bahwa sastra lisan atau oral literature adalah sekelompok teks yang disebarkan secara turun-temurun secara lisan, yang secara instrinsik mengandung sarana-sarana kesusastraan dan memiliki efek estetik dalam kaitannya dengan konteks moral maupun kultur dari sekelompok masyarakat tertentu. Sastra lisan merupakan sebuah warisan kultural yang di dalamnya banyak mengandung kearifan lokal. Pengertian tersebut sejalan dengan pendapat Endraswara dalam bukunya Antropolgi Sastra Lisan (2018) yang menyampaikan bahwa sastra lisan merupakan sekumpulan karya sastra atau teks-teks lisan yang disampaikan dengan cara lisan, atau sekumpulan karya sastra yang bersifat dilisankan yang memuat hal-hal yang berbentuk kebudayaan, sejarah, ataupun sosial masyarakat.

Sastra lisan sebagai ekspresi budaya memang tidak terbantahkan. Penelitian ataupun kajian sastra lisan, tidak bisa dipisahkan dari aspek budaya. Sastra lisan yang disampaikan secara turun-temurun dari mulut ke telinga merupakan suatu budaya. Jadi, biarpun  lebih mengandalkan fungsi mulut dan telinga, tetap dapat disebut karya budaya sastra lisan yang dapat membangun peradaban.

Kata budaya dalam bahasa Latin “cultura” berarti ada budi daya yang di dalamnya ada usaha keras untuk mencapai sesuatu. Sastra lisan merupakan dokumen budaya yang banyak memberikan ungkapan tentang usaha mencapai sesuatu hal. Usaha itulah yang menciptakan sebuah peradaban. William dalam Endraswara (2018) menulis bahwa “cultura” artinya merawat. Maksudnya ialah merawat atau menjaga perilaku manusia agar semakin baik. Manusia melalui sastra lisan akan merawat sikap dan tindakannya sehingga menjadi manusia yang berbudi baik. Manusia yang mampu merawat sikap dan perilakunya sehingga menjadi teladan, termasuk orang yang beradab. Peradaban tersebut memuat kepercayaan, pengetahuan, moral, kebiasaan, dan kebiasaan lainnya yang dilakukan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.

Apabila digali lebih dalam lagi, sastra lisan akan memantulkan sebuah pancaran peradaban yang mencerahkan hidup. Sastra lisan akan selalu melekat dalam kehidupan manusia sebagai kelisanan dasar. Kelisanan tersebut merupakan pantulan budaya original manusia.

Nilai kearifan lokal dalam sastra lisan melahirkan sebuah peradaban. Kesadaran berbudaya dan nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung di dalamnya dapat menjadi sumber pendidikan karakter dan memberikan teladan untuk saling menghargai perbedaan-perbedaan dari setiap budaya di suatu daerah sehingga melahirkan peradaban yang baik. Peradaban itulah yang menciptakan bangsa yang bermanfaat dan bermartabat.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

5 × one =

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

Scroll to Top