Widya Sendy Alfons, S.Pd.
Penyuluh di Kantor Bahasa Provinsi Maluku
Perjalanan hidup dari masa ke masa tentu memiliki cerita berbeda. Perubahan cerita karena adanya pergantian era jelas mengubah banyak hal dari masa sebelumnya. Hal-hal yang paling terasa ialah mulai hilang tradisi yang melekat dalam kehidupan seseorang. Tradisi-tradisi keakraban yang hangat dan penuh nilai hidup justru mulai tergantikan dengan kebiasaan baru yang cenderung menjadikan seseorang individualis. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh banyak faktor pada era digital ini. Namun, kita bisa memilih, memelihara, dan menjaga tradisi lama sambil membuka diri untuk hal yang baru atau beralih ke hal baru tanpa mengingat apa pun ke belakang.
Tradisi adalah kekayaan budaya yang harus dijaga oleh pemiliknya. Kesadaran memelihara suatu budaya tidak bisa dibebankan kepada orang lain karena setiap orang yang hidup memiliki budaya yang melekat pada dirinya. Budaya tidak bisa dianggap hanya sebagai sesuatu yang besar dan diketahui banyak orang, tetapi budaya hidup dan tumbuh dari ruang yang paling kecil (diri sendiri) kemudian menyatu dengan lingkungan di sekitarnya. Kebiasaan-kebiasaan pribadi merupakan budaya yang mungkin saja akan menjadi besar dan berkembang luas jika banyak orang terpengaruh dan ingin menerima.
Selain perkembangan teknologi, perkembangan suatu budaya dapat dipengaruhi juga oleh budaya lain. Hadirnya budaya lain dapat menjadi ancaman sekaligus pelengkap suatu budaya. Setiap budaya tetap memiliki kelebihan positif yang dapat dijadikan pelengkap budaya sendiri. Namun, perlu diingat bahwa budaya lain juga mungkin memiliki sisi lain yang bertentangan dengan budaya kita. Keberadaan dan peran budaya asli tidak harus bergeser karena hadirnya budaya lain. Pemilik budaya asli harus memiliki batasan yang kuat untuk menjaga budayanya sendiri.
Kenyataan hingga tahun 2020, tentu dapat menjelaskan betapa kuatnya pengaruh budaya luar di lingkungan kita yang tidak terlepas dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi di dunia ini. Dampak negatifnya, budaya-budaya asli menjadi kabur bahkan terancam hilang dari lingkungan kita. Beberapa hal yang mulai kabur pada tahun 2000-an, seperti, permainan tradisional, budaya makan di meja makan, dan tarian tradisional. Hal tersebut tidak hilang, tetapi mulai jarang ditemui.
Pada tahun 1990-an s.d. awal tahun 2000, permainan tradisional masih hangat di kalangan anak-anak. Di Maluku, permainan tradisional seperti lompa karet, rumah kacil, kacong, mutel, pana-pana, enggo lari, enggo basambunyi, kasti, hadang,dan sebagainyaadalah dunia anak. Tidak hanya anak, para remaja dan pemuda juga menikmati masa mereka dengan komunikasi lisan secara langsung. Komunikasi adik dan kakak, kolega, orang tua dan anak yang tinggal berbeda pulau bahkan negara pun tidak secepat sekarang. Masih banyak yang berbalas surat untuk saling mengabari. Lebih lagi, jika terjadi peristiwa penting dalam keluarga seperti duka meninggalnya anggota keluarga, harus ada anggota keluarga yang mengunjungi rumah kerabat untuk menyampaikan kabar tersebut. Saling mengunjungi rumah kerabat untuk berbagi kabar dan melepas rindu adalah hal yang ditunggu-tunggu dan memiliki kesan tersendiri. Budaya tampa garang kasiang adalah budaya orang Maluku dengan makanan seadanya dan penuh kesederhanaan, dilengkapi petuah di meja makan. Hal-hal tersebut adalah cermin keakraban. Tradisi lain di kampung yang kelihatan biasa saja dan mulai hilang seperti bastori di kintalatau baranda-baranda rumah. Banyak orang menunggu petang sambil duduk di kintal dan baranda rumahbertukar cerita sambil memandang wajah-wajah lelah nan kuat memikul kayu, buah-buahan, dan hasil hutan lainnya yang dibawa pulang oleh para petani. Orang beramai-ramai di depan rumah menghabiskan sore menjemput malam ditemani berbagai olahan pangan lokal yang dipanen dari kebun sendiri. Tradisi-tradisi yang terjadi dengan bermedia bahasa daerah atau dialek daerah setempat itu, baik untuk berkomunikasi atau untuk mendeskripsikan berbagai nama barang, adalah kondisi sebuah bahasa (bahasa daerah) tumbuh dan terwariskan.
Pudarnya tradisi-tradisi dalam keluarga maupun relasi antartetangga dan orang bersaudara dalam berkomunikasi yang masih sangat erat sebelum IPTEK berkembang pesat. Munculnya Facebook pada tahun 2004 memberi dampak yang cukup besar bagi tradisi dan kebiasaan-kebiasaan sebelumnya. Facebook adalah salah satu media sosial yang berkembang dengan pengguna yang mendunia sehingga perlahan orang mulai tertarik dengan dunia maya dan mengurangi komunikasi dunia nyata. Hal tersebut bertambah dengan hadirnya berbagai media sosial dengan akses yang mendunia.
Fenomena tersebut memberi dampak yang cukup luas terhadap bahasa. Bahasa pun harus bergerak seirama dengan maju mundurnya sebuah budaya. Bahasa menjadi kaya dalam tradisi-tradisi yang berkembang, tetapi juga terancam hilang dalam tradisi yang memudar. Permainan dan tarian tradisional dengan muatan bahasa sebagai petunjuk sekarang hanya dipakai pada acara-acara tertentu, serta tingkat keakraban yang berkurang dalam keluarga memberikan gambaran tentang pewarisan bahasa daerah yang terbatas sehingga memicu punahnya bahasa daerah. Kondisi lain yang cukup menyedihkan adalah gengsi generasi milenial untuk berbahasa daerah. Begitu pun konteks komunikasi yang berbeda dari masa ke masa karena hadirnya media sosial menimbulkan berbagai kasus yang bertentangan dengan hukum dalam kaitannya dengan bahasa. Itulah gerak bahasa yang selalu mengikuti irama budaya, baik berkembang maupun hilang.