KEKUATAN KALIMAT IMPERATIF DI ERA COVID-19

Widya Sendy Alfons, S.Pd.

Kantor Bahasa Maluku

Gunakan masker bila batuk dan pilek. Kalimat tersebut ialah satu dari sejumlah kalimat larangan dan perintah yang dibuat pemerintah akibat munculnya Covid-19 sejak akhir tahun 2019. Kalimat-kalimat tersebut mulai lazim pada semua kalangan masyarakat di dunia dan berhasil mengubah pola hidup masyarakat secara drastis. Kalimat-kalimat berkekuatan besar di era Covid-19 ini tergolong dalam kalimat imperatif.

Kalimat imperatif adalah kalimat perintah atau suruhan yang dibuat oleh organisasi/pribadi kepada orang lain untuk dilakukan. Dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, kalimat imperatif jika ditinjau dari isinya tergolong atas enam:

  1. Perintah atau suruhan biasa jika pembicara menyuruh lawan bicaranya berbuat sesuatu;
  2. Perintah halus jika pembicara tampaknya tidak memerintah lagi, tetapi menyuruh mencoba atau mempersilakan lawan bicara sudi berbuat sesuatu;
  3. Permohonan jika pembicara, demi kepentingannya, minta lawan bicara berbuat sesuatu;
  4. Ajakan dan harapan jika pembicara mengajak atau berharap lawan bicara berbuat sesuatu;
  5. Larangan atau perintah negatif, jika pembicara menyuruh agar jangan dilakukan sesuatu; dan
  6. Pembiaran jika pembicara meminta lawan bicara untuk membiarkan sesuatu terjadi atau berlangsung.

Berdasarkan penggolongan tersebut, dapat kita jumpai berbagai contoh jenis kalimat imperatif di badan publik yang berhubungan dengan pandemi Covid-19. Kalimat-kalimat tersebut sebenarnya mengandung kekuatan positif yang cukup besar untuk menghindari ancaman Covid-19. Beredarnya kalimat-kalimat imperatif memiliki tujuan khusus agar masyarakat membaca dan mengikuti maksud yang terkandung di dalamnya.

Kekuatan kalimat imperatif sebenarnya terletak pada golongan kalimat itu sendiri dan organisasi/individu yang membuatnya. Jika kalimat imperatif yang dibuat termasuk dalam golongan perintah halus atau sekadar ajakan dari seseorang kepada orang lain yang bersifat pribadi maka tidak jarang terjadi penolakan dari lawan bicara untuk bertindak sesuai maksud kalimat tersebut (tidak semua kalimat imperatif halus berujung pada penolakan, biasanya tergantung pada kondisi, pembicara, dan lawan bicara). Namun, jika kalimat imperatif tergolong perintah atau larangan yang dibuat oleh suatu organisasi dengan maksud tertentu untuk kepentingan seseorang dan/atau orang banyak maka besar kemungkinannya lawan bicara mengikuti maksud kalimat tersebut.

Berikut ini contoh dua kalimat imperatif yang berhubungan dengan pandemi Covid-19 yang menggambarkan perbedaan golongan kalimat dan peluang diikuti oleh lawan bicara. Kalimat (1) bapak/ibu harap menggunakan masker. Kalimat (2) dilarang masuk bagi yang tidak menggunakan masker. Kedua kalimat tersebut jelas berbeda walaupun memiliki tujuan yang sama agar orang menggunakan masker. Pengaruh kata “harap” pada kalimat pertama berarti penggunaan masker tidak diwajibkan, sedangkan kata “dilarang” pada kalimat kedua mengartikan wajib menggunakan masker.

Berdasarkan dua contoh kalimat di atas tergambar jelas golongan kalimat imperatif turut memengaruhi respons pembaca terhadap kalimat tersebut. Atas dasar tersebut, pemerintah seharusnya mempertimbangkan diksi yang digunakan ketika hendak merumuskan protokol kesehatan untuk dipatuhi oleh masyarakat. Diksi yang menjadikan kalimat itu tergolong halus (artinya tidak memaksa, tidak mewajibkan, dan tidak disanksikan) sebenarnya membuka peluang bagi masyarakat untuk tidak mengikuti protokol tersebut, yang memungkinkan peningkatan penyebaran Covid-19.

Energi kalimat imperatif tidak hanya sebatas suatu perintah, tetapi sangat berdampak bagi kepentingan banyak orang. Banyaknya kalimat imperatif saat pandemi ini adalah suatu langkah antisipatif untuk keselamatan bersama. Masyarakat yang baik adalah masyarakat yang dengan sadar mengikuti berbagai perintah dan larangan melalui media cetak, media elektronik, maupun seruan-seruan langsung dari pemerintah atau organisasi tertentu, sebaliknya masyarakat yang acuh tak acuh terhadap suatu larangan dan perintah yang dibuat untuk kebaikan bersama akan menyebabkan masalah bagi diri sendiri dan orang lain. Kenyataan yang terjadi membuktikan bahwa respons masyarakat terhadap kalimat imperatif yang dibuat sangat memengaruhi tingkat penyebaran Covid-19.

Kalimat imperatif banyak termuat dalam protokol kesehatan yang dibuat pemerintah terkait Covid-19 dan kesiapan memasuki kenormalan baru contohnya, cucilah tangan dengan sabun pada air mengalir, hindarilah tempat kerumunan, bersihkan rumah secara teratur dengan disinfektan, hindari berjabat tangan, jagalah kesehatan, dan sebagainya. Penggunaan kata bercetak tebal adalah pemarkah kalimat imperatif. Kalimat imperatif biasanya ditandai dengan penggunaan partikel –lah dan verba yang sifatnya memerintah dan melarang. Dalam kalimat imperatif biasanya juga ditemui kata tugas yang sangat berkaitan dan saling memengaruhi dengan kata lain.

Jika dievaluasi kembali masyarakat Indonesia, khususnya Maluku belum sepenuhnya merespons baik berbagai perintah dan larangan yang diberikan. Angka pasien positif terus meningkat dengan cepat. Hal itu disebabkan adanya penularan karena tidak taat pada aturan. Berbagai imbauan pemerintah hanya sebatas suara dan tulisan, tidak berujung pada tindakan. Berita terkini Covid-19 di Maluku, 496 orang terkonfirmasi positif, 111 sembuh, dan 13 orang meninggal (data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Provinsi Maluku per 16 Juni 2020). Hal tersebut menunjukan peningkatan yang signifikan dalam tiga bulan terakhir. Berbagai hal menjadi alasan orang terkonfirmasi positif. Namun yang jelas menjalankan imbauan dan larangan pemerintah adalah langkah tepat untuk tetap aman dan sehat.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

4 × three =

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

Scroll to Top