Asrif
Kantor Bahasa Maluku
Sejak Covid-19merebak di dunia, keadaan kota menjadi hening. Banyak sekolah, kantor, pusat perbelanjaan, jalan, dan ruang publik lainnya ditutup oleh pemerintah. Deru mesin pabrik dan kendaraan bermotor, menjadi lengang. Akibatnya, langit di kota-kota besar kembali membiru. Sungai dan laut kembali jernih. Hutan kembali menghijau. National Geographic Indonesia (10 April 2020) melaporkan bahwa efek karantina wilayah itu berdampak pada kondisi bumi yang menjadi lebih baik dan sehat.
Pandemi Covid-19 tersebut juga memutus ruang-ruang perjumpaan publik semisal ibadah, rapat, bekerja bersama, pesta, atau sekadar silaturahmi. Imbauan pemerintah kepada masyarakat tentang pembatasan sosial (social distancing), jaga jarak fisik (physical distancing), swakarantina (self-quarantine), dan karantina wilayah (lockdown) makin mengurangi perjumpaan manusia. Pemutusan perjumpaan itu berdampak pada senyapnya kehidupan kota bahkan hingga ke perkampungan nan jauh di pelosok. Kota-kota selama masa pandemi digambarkan sebagai “kota mati”.
Namun di balik senyap, sepi, hening, dan matinya aktivitas manusia itu, geliat berbahasa justru sangat meningkat. Aktivitas berbahasa hilir mudik di media sosial seperti Facebook, WhatsApp, Instagram, Twitter,dan YouTube. Pada sejumlah media sosial itu, hilir mudik catatan, komentar, tanggapan, dan sebagainya tak henti saling bersahutan. Aktivitas di benua lain dengan begitu cepat mendapat respons di benua berbeda, termasuk di Indonesia.
Pada media sosial WhatsAppmisalnya, aktivitas interaksi di grup-grup WA menjadi lebih meningkat dibandingkan dengan masa-masa sebelum masa pandemi ini. Perbincangan tentang pandemi Covid-19 ini seperti tak akan pernah berakhir. Selalu ada bahan dan tanggapan yang memantik interaksi berbahasa yang tiada henti. Akibatnya, memori gawai (ponsel) yang telah berkali-kali dibersihkan, dengan cepatnya kembali terisi.
Begitu pula pada media sosial Facebook. Masyarakat lebih aktif dan mudah memublikasi berita atau kejadian apa saja ke ruang publik bernama media sosial. Masyarakat rajin dan cepat membagi berita tanpa verifikasi. Padahal, berita itu bisa saja berita hoaks atau berita yang memiliki banyak kekeliruan. Sikap-sikap seperti itu berdampak pada silang pendapat yang tiada berujung. Di media sosial Facebook, satu status seseorang dapat menerima puluhan, ratusan, bahkan ribuan tanggapan dari warganet dalam waktu yang singkat.
Mencermati sejumlah fenomena aktivitas manusia di masa pandemi, tampaknya aktivitas berbahasa telah mengisi ketiadaan aktivitas fisik (berjumpa langsung). Aktivitas manusia yang semula sangat sibuk dengan rutinitas fisik, telah beralih ke rutinitas berbahasa. Sikap, tindakan, gelagat, dan sebagainya terejawantah melalui bahasa. Kebuntuan perjumpaan fisik telah tergantikan oleh perjumpaan bahasa. Bahasa telah benar-benar hadir menjadi solusi kebuntuan perjumpaan langsung.
Tingginya aktivitas berbahasa di masa pandemi disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, adanya kebijakan pembatasan sosial, jaga jarak fisik, swakarantina, dan karantina wilayah yang berdampak pada sulitnya memperoleh informasi secara langsung. Jika semula informasi dapat diperoleh dari media massa seperti koran yang ada di rumah, di kantor, atau di tempat-tempat tertentu, maka saat ini informasi itu beralih ke media sosial. Pada media sosial, informasi tidak hanya dibaca sebagaimana informasi yang ada di koran atau televisi, tetapi juga langsung dipercakapkan. Pada kondisi itu, seluruh interaksi tersalurkan melalui sarana berbahasa.
Kedua, warganet (netizen) merasa diri sebagai sosok yang terlibat aktif dalam penanganan pandemi ini. Ada warganet yang menjadi relawan gang (lorong/kompleks), relawan desa, petugas kesehatan, aktivis LSM, atau sebagai tenaga lainnya. Posisinya sebagai relawan atau pihak yang dianggap memahami persoalan itu menjadikan dirinya sebagai sosok yang mengetahui dan memahami berbagai persoalan pandemi ini. Ia mewujudkan diri sebagai ahli, pusat informasi, dan narasumber. Di media sosial, mereka aktif berbahasa untuk menyatakan dan menunjukkan posisinya itu agar dikenali dan mendapatkan pengakuan dari warganet lain. Untuk itulah, seorang warganet mampu berjam-jam menghabiskan waktunya berinteraksi di media sosial.
Hilir mudik bahasa di masa pandemi kadangkala mengabaikan faktor-faktor utama saat berkomunikasi. Badudu (dalam buku berjudul “Inilah Bahasa Indonesia yang Benar”, 1995) berpandangan faktor orang yang berbicara, orang yang diajak bicara, situasi pembicaraan, dan topik pembicaraan, sebagai faktor penting saat berkomunikasi. Sejumlah faktor itu kadangkala diabaikan oleh sejumlah warganet. Akibatnya, sejumlah orang, bukan memperoleh manfaat dari aktivitasnya berbahasa, melainkan memperoleh kendala karena telah menyebar fitnah, berita bohong, ujaran kebencian, dan sebagainya.
Pada masa pandemi, bahasa menunjukkan kekuatan dan keefektifannya sebagai pilihan sarana komunikasi bagi masyarakat. Bahasa tetap menghubungkan manusia satu dengan manusia lainnya, dari pulau satu ke pulau lainnya, dan dari kota yang satu ke kota lainnya. Bahasa mampu mengisi ruang kosong yang ditinggalkan manusia. Untuk itu, melindungi dan memajukan bahasa merupakan suatu keharusan sebagaimana pengembangan teknologi yang tiada henti.