Bahasa Politik Sebagai Sebuah Hegemoni

Harlin Turiah

Peneliti pada Kantor Bahasa Maluku

Berbahasa adalah bertata bahasa. Kemerdekaan berbahasa adalah kemerdekaan untuk mengikuti aturan-aturan bahasa yang telah disepakati para pemakai bahasa. Berpolitik bahasa adalah  bertata politik. Politisasi bahasa adalah rekayasa menggunakan bahasa, memberlakukan aturan bahasa, dan memaksa pemaknaan bahasa. Bahasa dimaknai sesuai dengan konteks politik penguasa (Alwasilah, 1994). Bahasa politik  merupakan bahasa hegemoni. Istilah hegemoni telah lama diletakkan oleh Gramsci  di saat mendekam di penjara Prancis. Teori ini menjelaskan mengapa revolusi sosialis tidak terjadi  di negara Barat yang dianggap demokratis.  Hegemoni dipergunakan untuk menunjukkan adanya kelas dominan yang mengarahkan, tidak hanya mengatur masyarakat melalui pemaksaan kepemimpinan moral dan intelektual. Bahasa telah direkayasa sebagai komoditas politik demi kepentingan kelompok-kelompok dominan. Munculnya istilah-istilah yang secara makna dikudeta oleh para penguasa telah mengubah pandangan dan cara berpikir masyarakat Indonesia yang menjadi subjek bahasa. Kata rawan pangan berbeda makna dengan kelaparan karena dalam pikiran kita  tidak pernah hadir bayangan orang-orang yang kelaparan karena tidak ada yang bisa dimakan. Demikian pula kata demi nusadan bangsa atau demi persatuan dieksploitasi untuk kepentingan politik agar kita tidak berpikir kritis. Menurut Lewuk (1995:186), terdapat empat kategorisasi ideologi kebahasaan yang dipergunakan oleh kelompok kekuasaan. Keempat kategori tersebut, yaitu bahasa berdimensi satu, orwelianisme bahasa, jaringan bahasa takut-takut, dan bahasa yang menyembunyikan pikiran.

Bahasa berdimensi satu menuntut orang yang menyatakan sikap dan pernyataan yang sama (satu) sesuai dengan kemauan penguasa. Pemikiran dialektis-negatif digantikan dengan pemikiran positif yang hanya mengafirmasikan dan menyesuaikan diri dengan realitas. Bagi mereka yang tidak sejalan dengan pemerintah dikatakan antipembangunan, antipenguasa, antipancasila, bahkan anti-NKRI. Orwelianisme bahasa dalam konteks ini adalah teknik penyatuan dua pengertian yang sebenarnya bertentangan, sehingga perbedaan antara yang benar dengan yang salah menjadi kabur. Ungkapan-ungkapan tentang kebebasan mengeluarkan pendapat, diartikan sebagai kepatuhan terhadap instruksi yang dikeluarkan pihak penguasa. Untuk menunjukkan sikap demokratis, dipakai istilah kritik konstruktif atau kritik membangun yang maknanya setiap kritik tidak boleh menyinggung kebijakan dan tidak boleh bertentangan dengan kehendak kekuasaan.  Dalam dunia pers, untuk  menghindari konflik dengan kekuasaan, pers melakukan kritik melalui karikatur dan pojok. Keduanya menyampaikan kritik melalui humor dan ternyata efektif pada masa itu.Terbukti tidak ada pers yang diberedel karena kritik karikatur atau kritik pojok.  Bahasa takut-takut adalah bahasa yang diucapkan masyarakat yang memiliki kepanutan monoloyalitas terhadap berbagai instruksi yang dilambangkan melalui simbol bahasa. Pada saat Pemilu, kita mendengar golput haram atau golput yang berarti tidak bertanggung jawab terhadap demokrasi. Kepanutan-kepanutan yang dipaksakan muncul karena terjadi hukum bahasa bagi orang yang melanggarnya.Terakhir, bahasa menyembunyikan pikiran, artinya bahasa bukan lagi sebagai alat menyatakan pikiran. Di balik pikiran itu, terdapat kepentingan yang memanipulasi bahasa itu sendiri. Kita bisa menyaksikan  model bahasa yang terakhir ini di saat kampanye Pemilu. Idiom-idiom yang berupa janji-janji partai dengan mudah bertebaran dilontarkan oleh partai politik hanya untuk memanipulasi rakyat yang awam politik. Jenis bahasa terakhir ini termasuk di dalamnya bahasa-bahasa propaganda. Bahasa-bahasa propaganda ditebar untuk menyiarkan kebencian (warmongering). Propaganda dilakukan dalam rangka pembusukan nama baik orang lain (defamatory). Propaganda juga dilakukan untuk membakar permusuhan dan konflik dalam masyarakat (subversive).  Propaganda bisa berbentuk “perang urat saraf” berupa perang media dan memanipulasi fakta-fakta (psychological warfare).

Bahasa politik merupakan bahasa yang dipergunakan para elite politik dan elite birokrasi untuk menyampaikan kepentingan-kepentingan kekuasaan. Bahasa politik akan bercirikan: 1) terjadinya politisasi makna atas bahasa-bahasa yang dipergunakannya; 2) terjadi penghalusan makna, dalam bentuk eufimisme bahasa yang dalam terminologi Mochtar Lubis sebagai sebuah penyempitan makna. Fenomena eufimisme, misalnya, kata serangan bersahabat untuk mengatakan salah sasaran. Mungkinkah antarsahabat saling menyerang?; dan 3) terjadinya bentuk-bentuk bahasa propaganda dalam rangka meyakinkan pihak lain, terutama masyarakat. Propaganda yang paling berbahaya adalah bahasa-bahasa agitasi (menebar permusuhan) dan bahasa bahasa rumor (tidak jelas sumber beritanya). Dominasi intelektual organik diwujudkan melalui rekayasa bahasa sebagai sebuah kekuasaan. Berbagai media bahasa menunjukkan hadirnya kekuasaan dan pengaturan hegemoni tersebut. Berbagai kebijakan negara, misalnya disampaikan dalam bahasa untuk kepentingan bangsa di masa mendatang atau demi kemandirian bangsa telah menghegemoni masyarakat untuk senantiasa menerima berbagai keputusan negara yang merugikan sekalipun. Sebagai kekuatan hegemoni, bahasa politik telah  menjadi sangat mudah diatur untuk kepentingan-kepentingan pihak kelas dominan. Bahasa-bahasa hegemoni juga telah mengkontruksi pikiran masyarakat kelas lemah untuk senantiasa bergantung dan menerima tanpa kritik. Hal ini terjadi secara alamiah yang luput dari perhatian masyarakat yang terhegemoni.  Bayangkan, untuk mengatasnamakan sebuah simbol-simbol partai, masyarakat saling bertikai di saat Pemilu. Simbol-simbol inilah ternyata yang menyebabkan orang merasa eksis dan hadir. Selain itu, hegemoni bahasa juga dapat kita saksikan dalam bahasa-bahasa media baik cetak, elektronik, maupun daring. Media menggunakan bahasa sebagai alat untuk memengaruhi  khalayak. Teori hegemoni tentulah hanya salah satu teori yang bisa dipakai untuk membedah bahasa politik. Bahasa politik juga bisa dihampiri oleh analisis wacana (discourse analysis) atau analisis semantik (semantic analysis). Kedua pendekatan ini malah sudah marak dipakai dalam penelitian ilmu sosial terutama ilmu komunikasi. Tentu saja ilmu bahasa merupakan bidang yang paling kompeten untuk menjelaskan keduanya. Bahasa tidak hanya sebagai bahasa, tetapi telah berubah sesuai keberfungsian dan kebermaknaan pemakaiannya. Dalam bahasa politik, keberfungsian dan kebermaknaan itu tampak secara terang. Bahasa menyimpan kepentingan-kepentingan di luar sebagai simbol komunikasi manusia.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

two × two =

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

Scroll to Top