Pengutamaan Bahasa Indonesia

Asrif

(Kepala Kantor Bahasa Maluku)

 

Dalam kehidupan sosial, ada tiga bahasa yang dapat digunakan saling bergantian yang tentu saja disesuaikan dengan konteks pembicaraan. Ketiga bahasa itu, yakni bahasa daerah, bahasa asing, dan bahasa Indonesia. Bahasa daerah, sesuai dengan fungsinya, digunakan sebagai alat komunikasi intra-etnik. Anggota masyarakat yang berasal dari satu etnik (suku) umumnya menggunakan bahasa daerah sebagai sarana komunikasi sesama etnik. Selanjutnya, bahasa asing juga telah menjadi salah satu sarana komunikasi selain bahasa daerah. Bahasa asing misalnya bahasa Inggris digunakan sebagai sarana komunikasi antar-negara (internasional). Dengan menguasai bahasa yang telah ditetapkan sebagai bahasa Internasional, maka seseorang dapat dengan baik berkomunikasi dengan rekan komunikasi dari negara yang berbeda.

Bahasa ketiga yakni bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia telah disepakati resmi sebagai bahasa nasional oleh para pemuda Indonesia sejak tahun 1928. Bahasa Indonesia yang semula dikenal dengan nama bahasa Melayu bahkan sebelum tahun 1928 telah digunakan secara luas oleh masyarakat yang mendiami wilayah Nusantara. Pada tahun 1945, bahasa Indonesia kemudian ditetapkan sebagai bahasa negara.

Bahasa Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat. Dibandingkan dengan bahasa Melayu sebagai induk bahasa Indonesia, jumlah kosakata bahasa Indonesia lebih kaya. Perkembangan pesat bahasa Indonesia itu disebabkan oleh topangan kosakata dari ratusan bahasa daerah yang ada di Indonesia, termasuk juga sejumlah kosakata dari bahasa asing.

Pada tahun 2009, Pemerintah Republik Indonesia melahirkan Undang-Undang No. 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Lahirnya UU No. 24 tahun 2009 itu kembali menegaskan posisi bahasa Indonesia atas bahasa-bahasa lain. Lahirnya Undang-Undang No. 24 tahun 2009 itu sebagai usaha pemerintah dalam menjaga harkat dan martabat bahasa negara terhadap bahasa lain, utamanya pemakaian dan penggunaan bahasa asing pada ruang dan badan publik yang ada di wilayah Indonesia. Bahasa Indonesia wajib menjadi bahasa tuan rumah, bukan menjadi bahasa kedua setelah bahasa asing.

Belakangan ini, jamak terlihat penggunaan bahasa asing pada ranah-ranah yang merupakan wilayah pemakaian bahasa Indonesia. Tidak hanya pada gedung-gedung dan badan usaha milik swasta, pada gedung-gedung dan badan usaha milik negara pun, seringkali kita jumpai penggunaan bahasa asing pada papan-papan informasi ataupun nama lembaga pemerintah. Penggunaan bahasa asing yang menggeser bahasa Indonesia itu tidak hanya terjadi pada kota-kota besar sekelas DKI Jakarta, Medan, Surabaya, Makassar, dan lain-lain, tetapi juga merambah pada kota-kota sedang dan kecil termasuk pada Kota Ambon.

Di Kota Ambon, terdapat ruang publik yang menggunakan nama berbahasa asing. Demikian pula halnya dengan nama-nama pada beberapa gerbang lembaga pemerintah sebagaimana yang terdapat di beberapa pelabuhan di Kota Ambon. Penggunaan bahasa asing ini semakin menguat terutama pada badan usaha milik swasta. Penggunaan bahasa asing pada ruang dan badan publik di Indonesia melahirkan pertanyaan sederhana. Apakah bahasa Indonesia tidak cukup komunikatif sehingga masyarakat menggunakan bahasa asing daripada bahasa Indonesia? Kepada siapakah informasi itu ditujukan?

Pertama, saya kira, bahasa Indonesia itu merupakan salah satu bahasa di dunia yang cukup komunikatif terlebih bahasa Indonesia digunakan di dalam wilayah Indonesia. Kedua, jika bahasa asing digunakan pada ruang publik atau tempat-tempat wisata, maka pengunjung tempat-tempat wisata itu dominan berkebangsaan Indonesia. Artinya, mereka penutur bahasa Indonesia. Jikalaupun ada pengunjung tempat wisata merupakan warga negara asing, maka mereka akan sangat mahfum jika segala papan informasi menggunakan bahasa Indonesia. Orang asing juga amat sadar bahwa setiap negara akan mengutamakan bahasa negara mereka.

Penggunaan bahasa Indonesia pada ruang, informasi, dan badan publik telah diatur di dalam Undang-Undang No. 24 tahun 2009. Pada Pasal 36 dinyatakan bahwa (1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nama geografi di Indonesia. (2) Nama geografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya memiliki 1 (satu) nama resmi. (3) Bahasa Indonesia wajib digunakan untuk nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, organisasi yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia. (4) Penamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dapat menggunakan bahasa daerah atau bahasa asing apabila memiliki nilai sejarah, budaya, adat istiadat, dan/atau keagamaan.

Demikian pula halnya pada Pasal 37 yang berbunyi (1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam informasi tentang produk barang atau jasa produksi dalam negeri atau luar negeri yang beredar di Indonesia. (2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilengkapi dengan bahasa daerah atau bahasa asing sesuai dengan keperluan. Selanjutnya pada Pasal 38 dinyatakan bahwa (1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam rambu umum, penunjuk jalan, fasilitas umum, spanduk, dan alat informasi lain yang merupakan pelayanan umum. (2) Penggunaan Bahasa Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disertai bahasa daerah dan/atau bahasa asing.

Ketiga pasal di atas secara tegas menekankan pentingnya pengutamaan bahasa Indonesia. Dengan demikian, penggunaan bahasa asing yang bukan pada tempatnya di wilayah hukum Republik Indonesia merupakan tindakan yang bertentangan dengan Undang-Undang No. 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.

Mari utamakan bahasa negara!

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

14 + nine =

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

Scroll to Top