Evi Olivia Kumbangsila
Pengkaji Kebahasaan, Kantor Bahasa Maluku
Perfilman Indonesia semakin hari semakin membaik. Karya anak bangsa dalam dunia perfilman semakin memperlihatkan kualitas kreativitas mereka. Film Indonesia tidak lagi didominasi oleh film-film berlatar belakang percintaan, pergaulan muda-mudi di kota-kota besar atau antarnegara, kisah-kisah mistis, pertarungan silat, atau kisah di dalam novel dan kisah nyata. Saat ini, anak bangsa pun telah mampu mengangkat film yang melatarbelakangi budaya, alam, dan tradisi Nusantara.
Sutradara dan produser Indonesia semakin bersemangat mengangkat keindahan, tradisi dan budaya Nusantara yang sangat banyak dan beragam. Mulai dari keindahan alam, tradisi nenek moyang, bahasa dan sastra Nusantara. Misalnya, produser sekaligus artis terkenal, Arie Sihasale yang selalu mengangkat kehidupan anak-anak Nusantara seperti kehidupan anak-anak di tanah Papua.
Film-film yang mengusung kearifan lokal Nusantara antara lain film berjudul Denias, Senandung di Atas Awan(2006), Laskar Pelangi(2008), Tanah Air Beta(2010), Cahaya dari Timur(2014), Panai(2016), dan Salawaku (2017). Cahaya dari Timur dan Salawaku merupakan film yang mengusung kehidupan sosial dan budaya masyarakat Maluku. Kedua film itu berlatar Pulau Ambon dan Pulau Seram.
Salah satu hal yang paling menarik dari film-film tersebut ialah kemampuan para pemainnya menguasai karakter sebagai orang asli dalam film itu. Mereka berpakaian sama dengan orang asli, kulit mereka harus disamakan dengan orang asli, rambut, gaya berbicara, hingga pilihan bahasa. Dari semua pendalaman karakter, bahasa merupakan hal yang sangat sulit untuk dikuasai. Menurut saya, bagian yang sangat sulit untuk dikuasai dari film yang berlatar belakang sosial dan budaya Maluku tersebut ialah sisi bahasa dan dialek.
Maluku merupakan salah satu provinsi tertua di Indonesia. Di antara 33 provinsi yang ada di Indonesia, Maluku menempati provinsi ketiga yang memiliki bahasa daerah terbanyak. Pemetaan bahasa di Provinsi Maluku yang dilakukan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) Kemdikbud terhadap 109 daerah pengamatan, berhasil mengidentifikasi 48 bahasa daerah dan ratusan rim(dialek). Sejumlah bahasa daerah dan rimtersebut disatukan oleh bahasa Melayu Ambon (bahasa yang telah menjadi lingua franca di Provinsi Maluku).
Bahasa Melayu Ambon memiliki beragam rim. Rimtersebut berkembang sesuai dengan tempat bahasa Melayu Ambon itu berkembang, misalnya rimMelayu Ambon Kota. Di negeri Salam(Islam), rimMelayu Ambon berbeda dengan rimdi negeri Sarane(Kristen). Demikian pula halnya dengan negeri-negeri yang berada di daerah pegunungan memiliki rim Melayu Ambon yang berbeda dengan rim Melayu Ambon yang ada di negeri-negeri yang berada di daerah pesisir pantai. Begitu pula, rimMelayu Ambon yang ada di negeri-negeri di Pulau Saparua akan berbeda dengan rim Melayu Ambon yang ada di Pulau Haruku, Pulau Nusa Laut, Pulau Buru, Pulau Tanimbar, Kepulauan Aru, daerah Maluku Barat Baya, dan lain-lain.
Itulah yang membuat bahasa Melayu Ambon tidaklah segampang iklan minyak kayu putih di televisi dengan slogan seng ada lawang. Pada bagian akhir kalimat, iklan tersebut diucapkan dengan intonasi yang meninggi. Pengucapan seperti itu tidaklah tepat karena dialek Melayu Ambon tidak mengenal intonasi meninggi di akhir kalimat.
Banyaknya dialek Melayu Ambon dan struktur bahasanya yang berbeda dengan bahasa Indonesia membuat bahasa Melayu Ambon berbeda dengan bahasa Melayu lainnya seperti bahasa Melayu Papua ataupun bahasa Melayu Manado. Inilah yang membuat para pemain film yang mengusung latar Maluku seperti film Cahaya dari Timurdan Salawaku kurang totalitas dalam menggunakan bahasa Melayu Ambon dengan dialek Tulehu maupun dialek Pulau Seram. Dalam pemilihan kata yang tepat, penutur perlu menyesuaikannya dengan konsep dan struktur bahasa Melayu Ambon hingga terdengar lebih alami dengan intonasi yang tepat sesuai dengan situasi.
Film Cahaya dari Timur dan Salawaku mengeksplorasi dengan aktif penggunaan bahasa Melayu Ambon. Penggunaan dialek tersebut wajib mempertimbangkan latar film tersebut. Pada kedua film tersebut, terdapat beberapa fakta menarik terkait penggunaan bahasa Melayu Ambon. Bahasa Melayu Ambon mempunyai nilai tersendiri, mulai dari kosakata hingga cara mengucapkannya sesuai dengan rim yang akan dipakai.
Pada tulisan selanjutnya, akan dipaparkan lebih detail fakta bahasa Melayu Ambon, baik tentang kosakata, struktur, dan intonasi bahasa Melayu yang terlewatkan dalam setiap dialog film Cahaya dari Timur dan Salawaku. Fakta tersebut yang sebenarnya membuat bahasa Melayu Ambon sangat bernilai dan patut diperhitungkan. Semoga tulisan ini nantinya bermanfaat untuk masyarakat Maluku.